Pondok Pesantren Kitab Kuning
Pondok Pesantren Salaf dikenal juga dengan pesantren kitab kuning. Sebabnya adalah karena pesantren tradisional ini selalu mengkaji kitab-kitab Islam klasik yang di kalangan para santri salafiyah umum disebut kitab kuning. Dalam bahasa Arab, kitab kuning disebut al-kutub al-turatsiyah atau kitab turas (kitab dengan bahasa Arab klasik). Kitab Kuning juga dikaji di pesantren dengan sistem kombinasi salaf-modern seperti Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang Kitab Kuning: Warisan Intelektual Islam Nusantara.
Daftar Isi
- Pendahuluan
- Sejarah dan Asal Usul
- Kandungan dan Jenis Kitab Kuning
- Peran Kitab Kuning di Pesantren
- Tantangan dan Relevansi di Era Modern
- Warisan dan Pengaruh Global
- Kesimpulan
Pendahuluan Pondok Pesantren Kitab Kuning
Kitab kuning adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada literatur keislaman klasik berbahasa Arab yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan Islam tradisional, terutama di pesantren-pesantren di Indonesia dan kawasan Nusantara. Istilah “kuning” merujuk pada warna kertas yang menguning seiring waktu, terutama pada naskah-naskah lama yang ditulis atau dicetak secara tradisional. Kitab-kitab ini mencakup berbagai disiplin ilmu Islam seperti tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, akhlak, dan nahwu-saraf (tata bahasa Arab), yang menjadi dasar pengajaran di pesantren hingga kini. Kitab kuning tidak hanya berfungsi sebagai sumber ilmu, tetapi juga sebagai warisan budaya dan intelektual yang memperkuat identitas keislaman di Nusantara.
Sejarah dan Asal-Usul Pondok Pesantren Kitab Kuning
Tradisi kitab kuning berakar dari perkembangan pendidikan Islam di dunia Arab, Persia, dan Turki pada abad pertengahan, yang kemudian dibawa ke Nusantara melalui jaringan ulama dan perdagangan. Pada abad ke-16 hingga ke-19, ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Makkah, Madinah, atau pusat keilmuan lain seperti Kairo membawa kembali naskah-naskah Arab ke wilayah mereka. Kitab-kitab ini awalnya ditulis tangan, kemudian dicetak di Timur Tengah, Eropa (seperti Belanda), atau India, dan menjadi kurikulum inti di pesantren yang mulai berkembang di Jawa, Sumatra, dan wilayah lain.
Menurut Martin van Bruinessen, seorang pakar studi Islam, kitab kuning mulai dikenal luas di Indonesia pada abad ke-17, seiring dengan munculnya pesantren sebagai lembaga pendidikan formal. Kitab-kitab ini biasanya ditulis dalam bahasa Arab tanpa harakat (tanda baca vokal), sehingga menuntut penguasaan bahasa yang mendalam dari para santri. Beberapa kitab klasik yang populer termasuk Fath al-Qarib (fiqih), Safinatun Najah (fiqih), Tafsir Jalalayn (tafsir), dan Riyadhus Shalihin (hadis), yang hingga kini tetap diajarkan.
Kandungan dan Jenis Kitab Kuning
Kitab kuning mencakup berbagai cabang ilmu Islam, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Fiqih: Kitab seperti Fath al-Qarib karya Ibnu Qasim al-Ghazzi, Safinatun Najah karya Salim bin Sumair, dan Kifayat al-Akhyar karya Taqiyuddin al-Hisni menjadi panduan utama dalam hukum syariat, terutama dalam mazhab Syafi’i yang dominan di Nusantara.
2. Tafsir: Tafsir Jalalayn karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti adalah kitab tafsir paling populer karena bahasa dan penjelasannya yang ringkas.
3. Hadis: Kitab seperti Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi dan Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani digunakan untuk mempelajari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
4. Tasawuf dan Akhlak: Hikam karya Ibnu Athaillah dan Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali mengajarkan spiritualitas dan pembentukan akhlak mulia.
5. Nahwu dan Saraf: Kitab seperti Alfiyyah karya Ibnu Malik dan Al-Ajurumiyyah karya Ibnu Ajurrum menjadi dasar penguasaan tata bahasa Arab untuk memahami teks-teks Islam.
Selain itu, ada pula kitab lokal karya ulama Nusantara, seperti Sairus Salikin karya Syekh Arsyad al-Banjari, yang menggabungkan ajaran tasawuf dengan konteks lokal. Kitab-kitab ini sering dilengkapi dengan terjemahan antarbaris (makna gandul) dalam bahasa Jawa, Melayu, atau Madura untuk memudahkan pemahaman.
Peran Kitab Kuning di Pesantren
Di pesantren, kitab kuning diajarkan melalui metode tradisional seperti sorogan (santri membaca di hadapan kiai secara individu) dan bandongan (kiai menjelaskan kitab kepada kelompok santri). Metode ini menekankan hafalan, pemahaman mendalam, dan diskusi interaktif. Kitab kuning tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter, disiplin, dan kemampuan berpikir kritis santri.
Pesantren seperti Pondok Pesantren Sidogiri (Pasuruan), Lirboyo (Kediri), dan Tebuireng (Jombang) dikenal sebagai pusat studi kitab kuning di Indonesia. Kitab kuning juga menjadi alat untuk melestarikan tradisi intelektual Islam yang berpijak pada otoritas ulama klasik, sekaligus menjaga independensi pesantren dari pengaruh kolonial atau modernisasi yang sekuler.
Tantangan dan Relevansi di Era Modern
Di era modern, kitab kuning menghadapi tantangan, seperti persepsi bahwa materinya kuno atau kurang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, banyak pesantren telah beradaptasi dengan mengintegrasikan pendidikan umum, teknologi, dan bahasa asing tanpa meninggalkan kitab kuning. Misalnya, beberapa pesantren kini menggunakan aplikasi digital untuk mengakses teks kitab kuning atau menerbitkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Relevansi kitab kuning tetap kuat karena isinya menawarkan solusi holistik terhadap masalah kehidupan, mulai dari ibadah hingga etika sosial. Selain itu, kitab kuning menjadi penjaga identitas keislaman Nusantara yang moderat, toleran, dan berbasis pada mazhab Syafi’i serta tradisi tasawuf. Ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga mengacu pada kitab kuning dalam merumuskan visi keislaman mereka.
Warisan dan Pengaruh Global
Kitab kuning bukan hanya warisan lokal, tetapi juga bagian dari jaringan intelektual Islam global. Ulama Nusantara seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menulis kitab kuning yang digunakan di Makkah dan Madinah pada abad ke-19. Hingga kini, pesantren di Indonesia menarik pelajar dari Malaysia, Thailand, dan bahkan Afrika, yang mempelajari kitab kuning sebagai bagian dari tradisi keilmuan Islam.
Organisasi seperti Nahdlatul Ulama terus mempromosikan studi kitab kuning melalui bahtsul masail, forum diskusi untuk menjawab isu kontemporer berdasarkan rujukan kitab klasik. Kitab kuning juga telah diakui sebagai bagian dari warisan budaya tak benda oleh beberapa pihak, meskipun tantangan pelestarian tetap ada akibat digitalisasi dan perubahan pola pendidikan.
Kesimpulan
Kitab kuning adalah pilar utama pendidikan Islam tradisional di Nusantara, yang tidak hanya menyimpan ilmu agama, tetapi juga mencerminkan kekayaan intelektual dan budaya umat Islam. Melalui pesantren, kitab kuning terus hidup sebagai alat pendidikan, pembentuk karakter, dan penjaga identitas keislaman yang moderat. Di tengah tantangan modernitas, kitab kuning tetap relevan sebagai sumber kebijaksanaan yang mampu menjawab kebutuhan zaman, sekaligus menghubungkan umat Islam Nusantara dengan tradisi keilmuan Islam global.[]