Peran Pondok Pesantren

Peran Pondok Pesantren

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan khas memiliki peran yang sangat penting di Indonesia. Dengan sistemnya yang unik, institusi yang dikenal dengan sebutan ponpes ini berperan besar dalam mendidik generasi muda tidak hanya di bidang ilmu agama dan ilmu umum, tapi juga dalam pendidikan karakter, budi pekerti luhur, akhlak mulia dan leadership (kepemimpinan) di tingkat lokal, nasional dan internasional. Maka, munculllah tokoh-tokoh besar seperti KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari, dan lainnya.

Daftar Isi

  1. Peran Pondok Pesantren
    1. Pengertian Peran
    2. Pengertian Pondok Pesantren (Ma’had)
    3. Pola Umum Pesantren
    4. Elemen-Elemen Pondok Pesantren
    5. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren
    6. Tipologi Pondok Pesantren
    7. Peran Pondok Pesantren
  2. Religiusitas
    1. Pengertian Religiusitas
    2. Dasar Religiusitas
    3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Religiusitas
    4. Aspek-aspek Religiusitas
  3. Catatan dan Referensi

A. Peran Pondok Pesantren

1. Pengertian Peran

Peran merupakan salah satu bentuk tindakan atau perilaku seseorang, yang timbul karena adanya kedudukan yang diperoleh dalam struktur sosial. Dengan adanya peran tersebut, seseorang diharapkan dapat memainkan peran sesuai dengan kedudukannya. Dalam pelaksanaan peran, akan lebih bermakna jika dikaitkan dengan orang lain/masyarakat. Karena peran menentukan apa yang diperbuatnya dimasyarakat.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Soerjono Soekamto, yang menyatakan bahwa

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki berbagai macam peran yang timbul dari pergaulan sosial dan lingkungan. Jadi dapat diartikan bahwa peranan dapat menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang telah diberikan oleh masyarakat kepadanya.6

Suhardono dalam bukunya Achmad Patoni menambahkan, bahwa peran dapat dijelaskan melalui beberapa cara yaitu pertama, melalui penjelasan historis. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman Yunani Kuno atau Romawi. Dalam hal ini, peran berarti karakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut.7

Sedangkan peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “pemain, sandiwara film, tukang lawak dalam permaianan makyong, perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan pada peserta didik”.8 Dan arti peran dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama”.9

Kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, Achmad Patoni menjabarkan bahwa:

Tidak semua orang mampu untuk menjalankan peran yang melekat pada dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang seseorang mengalami ketidakberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan peran yang diberikan. Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud dalam kegagalan peran, disensus peran dan konflik peran.10

Hubungannya dengan kegagalan peran, tidak semua orang dapat menjalankan perannya dengan baik atau tidak sesuai dengan kedudukanyang dimilkinya. Sehingga peran tersebut mengalami kegagalan dan dapat mempengaruhi elemen-elemen yang terkait. Akibat dari ketidakaberhasilan dari peran adalah orang tersebut tidak akan memperoleh kepercayaan lagi dari masyarakat maupun orang lain.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat dari Achmad Patoni yang menyatakan:

Kegagalan peran terjadi ketika seseorang enggan atau tidak mampu melanjutkan peran individu yang harus ia jalankan. Implikasinya, tentu akan mengecewakan terhadap mitra perannya. Orang yang telah mengecewakan mitra perannya akan kehilangan kepercayaan untuk menjalankan perannya secara maksimal.

Sedangkan pengertian dari disensus peran menurut Achmad Patoni adalah:

Mitra peran tidak setuju dengan apa yang diharapkan dari salah satu pihak atau kedua-duanya. Ketidaksetujuan itu terjadi dalam proses interaksi untuk menjalankan aktivitas yang berkaitan dengan perannya. Disini, persoalan bisa berasal dari mitra yang berkaitan dengan aktivitas menjalankan peran.11

Artinya, antara satu pihak dengan pihak lain tidak adanya kecocokan atau tidak setuju dengan apa yang dilakukan. Hal ini terjadi saat terjadinya proses interaksi, yang mana aktivitas tersebut sedang dijalankan. Sehingga muncullah persoalan yang seharusnya tidak terjadi dan dapat mengganggu dan mempengaruhi hasil.

Penyebab ketidakberhasilan peran selanjutnya adalah adanya konflik peran. Achmad Patoni menyatakan, bahwa:

Konflik peran terjadi manakala seseorang dengan tuntutan yang bertentangan melakukan peran yang berbeda. Biasanya seseorang menangani konflik peran dengan memutuskan secara sadar atau tidak peran mana yang menimbulkan konsekuensi terburuk jika diabaikan kemudian memperlakukan peran itu lebih dari yang lain. Konflik peran yang berlangsung seringkali terjadi apabila si individu dihadapkan sekaligus pada kewajiban-kewajiban dari satu atau lebih peran yang dipegangnya. Pemenuhan kewajiban-kewajiban dari peran tertentu sering berakibat melalaikan yang lain.12

Maksudnya adalah konflik peran bisa terjadi apabila orang tersebut tidak menjalankan peran yang sesuai dengan fungsinya. Hal ini dikarenakan, seseorang memiliki banyak kewajiban yang harus ia selesaikan yang berakibat melalaikan kewajiban yang lain. Orang yang menangani konflik peran ini, dapat menentukan peran mana yang menimbulkan konsekuensi dan segera mungkin di atasi. Sehingga tidak menimbulkan konsekuensi terburuk dari adanya konflik peran.

Jadi, dikatakan seseorang dapat menjalankan suatu peran apabila melaksanakan hak dan kewajiban yang sesuai dengan kedudukannya. Karena antara peran dan kedudukan memang memiliki hubungan yang cukup erat. Hanya saja terdapat pembedaan yang dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Sejalan dengan ini, Achmad Patoni memberikan pernyataan mengenai hubungan peran dengan kedudukan:

Karena memang sebenarnya diantara keduanya tidak dapat dipisah- pisahkan dan satu tergantung pada yang lain, begitu juga sebaliknya. Tidak ada peran tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peran. Peran disini, lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.13

Ketika istilah peran dikaitkan dengan lingkungan pekerjaan, seseorang akan diberi posisi atau jabatan yang menjadikannya memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menjalankan peran. Karena peran sering digunakan untuk menunjuk pada aspek tugas dan fungsi atas posisi atau kedudukan yang dimiliki.

Seperti yang telah dijabarkan oleh Bimo Walgito, yang menyatakan bahwa “dengan menduduki suatu posisi tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut. Karena peran juga tidak lepas dari status yang disandangnya dan setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih status sosial”.14

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran merupakan suatu perilaku atau tindakan yang timbul karena adanya kedudukan dan peran tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh baik, pada sekelompok orang atau lingkungan sekitar. Atau juga dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan dan usaha bersama yang didasarkan pada asas gotong royong untuk memberikan pengaruh pada orang lain atau suatu lembaga.

2. Pengertian Pondok Pesantren (Ma’had)

Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat. Lembaga ini muncul ditengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari perkembangan masyarakat Islam. Makna dari pondok pesantren itu sendiri adalah suatu lembaga yang pengajarannya menekankan pada ilmu agama Islam dengan sistem asrama dibawah pimpinan seorang guru atau Kyai sebagai sentra utamanya.

Pendapat di atas selaras dengan beberapa pendapat dari para tokoh diantaranya:

a) M. Arifin dalam bukunya Achmad Patoni yang menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat, dengan sistem asrama (kompleks) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah pimpinan seseorang atau beberapa Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.15

b) Menurut Geertz, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik di pesantren disebut santri yang umumnya menetap di pesantren.16

c) Sedangkan pondok pesantren menurut Marwan Saridji dkk adalah suatu lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajarannya tersebut diberikan dengan cara non-klasikal, yaitu bandongan dan sorogan. Dimana seorang Kyai mengajarkan santri-santrinya berdasarkan kitab yang tertulis dalam Bahasa Arab.17

d) Menurut Zamakhsari Dhofier pondok pesantren berasal dari “kata pondok yang berarti tempat yang digunakan untuk makan dan istirahat. Disamping itu, kata “pondok” berasal dari Bahasa Arab funduuq yang berarti hotel atau asrama”.18 Sedangkan makna pesantren menurut Soegarda Porbakawatja yang dikutip oleh Haidar adalah tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.19

e) Qomar mendefinisikan pondok pesantren sebagai “suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pada pembelajaran agama Islam dan didukung adanya asrama sebagai tempat tinggalnya santri yang sifatnya permanen”.20

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang pengajarannya menekankan pada pengajaran agama Islam dibawah pimpinan seorang Kyai dengan sistem asrama (pondok). Sedangkan tempat untuk berkumpulnya orang-orang yang hendak belajar agama Islam atau asrama tempat santri mengaji disebut dengan pesantren.

3. Pola Umum Pesantren

Dalam mengelola pondok pesantren agar bisa berjalan dengan baik, terarah, dan sesuai dengan tujuan, tentunya memiliki pola dan sistem yang menjadikannya teratur. Karena keberhasilan dari pondok pesantren tergantung pada bagaimana cara seorang pengasuh atau Kyai itu mendidik santrinya dan tergantung pada bagaimana pengelolaannya.

Sejalan dengan ini, Syarif dalam bukunya Imron Arifin menyatakan pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan menggunakan sistem asrama (pondok) dengan Kyai sebagai sentra utama serta masjid sebagai pusat lembaganya. Sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada standarisasi yang diberlakukan untuk semua pesantren yang ada. Namun dengan demikian, dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pesantren tampak adanya pola umum, yang diambil dari makna peristilahan dari pesantren itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu pola tertentu.21

Menurut Mas’udi, pada awalnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan pengajaran agama Islam yang pada umumnya diberikan dengan cara non-klasikal (sistem pesantren), dimana seorang Kyai mengajari santrinya (siswa) berdasarkan kitab-kitab yang diajarkan. Para santri (siswa) biasanya tinggal di pondok pesantren atau asrama. Namun pada awalnya pesantren tidak memiliki pondok atau asrama yang menjadikan santri harus belajar dengan cara menyebar di desa-desa yang ada disekitar pesantren tersebut. Sebutan untuk santri tersebut adalah santri kalong, yang mengikuti pelajaran di pesantren secara wetonan, dimana mereka datang berbondong-bondong ke pesantren pada waktu tertentu untuk mengikuti pembelajaran.22

Saridjo juga menjelaskan bahwa pondok pesantren dewasa ini berkembang dan merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem non-klasikal. Pondok pesantren ini pun pada gilirannya menyelenggarakan sistem pendidikan klasikal (schooling) baik yang bersifat pendidikan umum maupun agama yang lazim disebut dengan madrasah.23

Ada beberapa karakteristik pesantren yang dikemukakan oleh beberapa tokoh secara umum, diantaranya:24

a. Karakteristik pesantren menurut Sunyoto dalam bukunya Imron Arifin adalah sebagai berikut:

1) Pondok pesantren tidak menggunakan batasan umur.

2) Tidak menerapkan batas waktu pendidikan, karena sistem pendidikan di pesantren bersifat pendidikan seumur hidup (life long education).

b. Karakteristik pesantren menurut Rahardjo:

1) Siswa atau santri di pesantren tidak diklasifikasikan dalam jenjang- jenjang menurut kelompok usia, sehingga siapapun bisa belajar dan menjadi santri.

2) Santri boleh bermukim di pesantren sampai kapan pun atau bahkan bermukim disitu selamanya. Jika hendak pindah untuk mencari guru di pesantren lain atau pulang ke tempat asal, apabila santri telah merasa cukup dan mampu mengembangkan diri sendiri.

c. Karakteristik pesantren menurut Sunyoto:

1) Pesantren tidak memiliki maupun peraturan administrasi yang tetap, dimana seseorang dapat bermukim disana tanpa mengaji jika mau, asal ia memperoleh nafkah sendri dan tidak menimbulkan masalah dalam tingkah lakunya. Kemudian Geertz menambahkan bahwa orang mengaji didasarkan pada kecepatan masing-masing, belajar sebanyak-banyaknya atau menurut kebutuhan mereka sendiri.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren memiliki beberapa karakter, diantaranya tidak adanya batasan umur bagi santri yang ingin mondok, tidak ada batasan waktu pendidikan (bersifat seumur hidup), santri yang mondok tidak dikelompok- kelompokkan menurut umurnya, santri boleh bermukim di pesantren sampai kapan pun, dan pesantren tidak memiliki peraturan administrasi yang tetap.

Dan sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola seutuhnya oleh Kyai dan santri, Sunyoto menyatakan bahwa keberadaan pesantren pada dasarnya berbeda dengan yang lain, baik dari segi kegiatan maupun bentuknya.25

Meskipun demikian, secara umum dapat dilihat adanya pola yang sama pada pesantren. Persamaan pola tersebut menurut Ali dibedakan menjadi dua segi. Segi pertama, adalah segi fisik yang terdiri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada setiap pesantren, yaitu: (a) Kyai sebagai pemimpin, panutan, pendidik, dan guru, (b) Santri sebagai peserta didik atau siswa, (c) Masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan. Segi kedua, adalah komponen non-fisik yaitu pengajian (pengajaran agama) yang disampaikan dengan berbagai metode yang memiliki keseragaman, yakni standarisasi tentang kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi dasar kehidupan dan perkembanan pondok pesantren.26

Untuk komponen fisiknya, Dhofir dan Majdid lebih menitikberatkan pada pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Tanpa pengajaran kitab-kitab klasik Islam, maka keaslian dari pondok pesantren tidak ada.27 Karena memang kitab kuning sudah menjadi ciri khas dari pondok pesantren dan sudah ada sejak lama.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem asrama dengan Kyai sebagai sentral utamanya. Namun demikian dalam proses perkembangan dan pertumbuhan pondok pesantren, menunjukkan adanya suatu pola tertentu yang menjadi karakteristik dari pondok pesantren tersebut.
Selain itu, dalam menempuh pendidikan di pondok pesantren tidak ada pembatasan umur, pembelajarannya dilakukan secara non-klasikal, tidak adanya pengelompokan sesuai umur, dan lain sebagainya. Dengan pola tersebut, pondok pesantren dapat terarah pelaksanaannya.

4. Elemen-Elemen Pondok Pesantren

Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, memiliki peran dan kontribusi dalam pembangunan bangsa, terutama dalam menciptakan generasi-generasi yang memiliki karakter religius serta memiliki wawasan kebangsaan yang memadai.

Untuk dapat memahami keaslian dari pondok pesantren, dalam hal ini terdapat beberapa elemen yang setidaknya dimiliki oleh pondok pesantren menurut Dhofier dalam bukunya Imron Arifin, diantaranya:

a. Pondok, sebagai asrama santri (siswa).

Pondok merupakan sebutan bagi tempat tinggal santri selama menempuh pendidikan di pesantren, sedangkan pesantren diartikan sebagai tempat santri belajar mengaji.

Menurut Dhofier, pada dasarnya pondok pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, yang mana siswanya (santri) tinggal bersama dibawah bimbingan seseorang atau guru yang dikenal dengan sebutan Kyai. Istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan ke Islaman yang melembaga di Indonesia.28

Sejalan dengan ini, Ziemek menambahkan bahwasanya kata pondok berarti kamar, gubuk, rumah kecil yang dalam bahasa Indonesia menekankan pada kesederhanaan bangunan. Begitu juga dengan Parsodjo yang menyatakan jika dilihat dari makna Bahasa Arab pondok berasal dari kata funduq yang berarti ruang tidur, wisma, dan motel sederhana.29

Dalam sejarah pertumbuhan pondok pesantren, Dhofier dan Ziemek menyatakan bahwa pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok pesantren khusus perempuan dan laki-laki. Dimana dengan adanya perkembangan tersebut, pihak pimpinan pondok menetapkan peraturan yang keras untuk memisahkan pondok perempuan dan pondok laki- laki. Beberapa pesantren yang menerima santri perempuan dan laki- laki, juga memilahkan pondok-pondoknya berdasarkan jenis kelaminnya. Tujuannya adalah agar para santri tidak dapat berhubungan dengan satu sama lain kecuali dengan kawan sejenisnya.30

Hasil penelitian LP3ES dalam bukunya Saridji dan Ziemek di Bogor yang dikutip oleh Imron Arifin, Jawa Barat misalnya telah menemukan 5 macam pola fisik pondok pesantren yaitu:

1) Pola pertama

Terdiri dari masjid dan rumah Kyai. Pondok pesantren seperti ini masih bersifat sederhana, dimana Kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar santri. Type ini juga santri hanya datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri.

2) Pola kedua

Terdiri dari masjid, rumah Kyai, pondok (asrama) menginap para santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh.

3) Pola ketiga

Pola ketiga ini terdiri dari masjid, rumah Kyai dan pondok (asrama) dengan sistem wetonan dan sorogan. Type ini telah menyelenggarakan pendidikan formal seperti madrasah.

4) Pola keempat

Pondok pesantren type keempat, selain memiliki komponen- komponen fisik seperti pola ketiga juga memiliki tempat untuk pendidikan keterampilan seperti kerajinan, perbengkelan, tokoh koperasi, sawah, ladang, dan sebagainya.

5) Pola kelima

Dalam pola ini, pondok pesantren merupakan lembaga yang telah berkembang dan bisa disebut dengan pondok pesantren modern atau pondok pesantren pembangunan. Disamping masjid, rumah Kyai atau ustadz, pondok (asrama), madrasah atau sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lain seperti, perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko, rumah penginapan tamu (orangtua santri atau tamu umum), ruang operation dan sebagainya.31

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pondok merupakan suatu tempat atau asrama yang digunakan sebagai tempat tinggal santri selama belajar di pesantren, dibawah bimbingan seorang Kyai atau pun guru.

b. Masjid, sebagai sentral peribadatan dan pendidikan Islam.

Salah satu hal yang harus ada di pondok pesantren adalah Masjid. Yang mana masjid ini, digunakan para santri untuk melaksanakan kegiatan seperti sholat berjama’ah, sorogan, pengajian, dan lain sebagainya. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam pesantren, merupakan bentuk manifestasi umum dari sistem pendidikan Islam tradisional.

Seperti yang diungkapkan oleh Dhofier, masjid merupakan salah satu elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan diangap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, sembahyang jum’at, dan pengajaran kitab-kitab klasik Islam.32

Tradisi di atas telah dipertahankan oleh pesantren di Jawa, bahkan pada zaman sekarang di daerah dimana umat Islam belum begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat. Karena para ulama dengan penuh pengabdian mengajar murid-muridnya di masjid, serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya agar meneruskan tradisi yang terbentuk sejak zaman permulaan Islam tersebut.33

c. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik.

Kitab-kitab Islam klasik merupakan literatur resmi sekalikus menjadi ciri khas pengajaran di pondok pesantren. Seperti yang diungkapkan oleh Noer dalam bukunya Imron Arifin, bahwasanya pengajaran kitab klasik Islam ini sudah diberikan sejak tumbuhnya pondok pesantren sebagai upaya untuk meneruskan tujuan pesantren dalam mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam tradisional.34
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik sendiri di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan kitab-kitab kuning, tetapi asal-usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Kitab-kitan Islam klasik ini biasanya ditulis atau dicetak memakai huruf-huruf Arab dalam Bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Huruf-hurufnya tidak diberi tanda baca vokal (harokat/syaki) dan karena itu sering disebut kitab gundul. Umumnya kitab ini dicetak di atas kertas kuning dan lembaran-lembarannya terlepas/tidak berjilid.35

Menurut Yafie dalam bukunya Imron Arifin, karena adanya perkembangan dalam dunia percetakan maka pada akhir-akhir ini kitab-kitab Islam klasik tidak selalu dicetak dengan kertas kuning tetapi kertas putih. Selain itu juga, sudah banyak diantaranya yang tidak lagi gundul, karena sudah diberi syakal/harokat yang merupakan tanda vokal agar mudah untuk dipahami dan dibaca.36
Intinya, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan salah satu karakteristik yang melekat dan tidak bisa dilepaskan dari pondok pesantren. Salah satunya adalah kitab kuning yang dijadikan pesantren sebagai identitas kepesantrenannya. Yang mana kitab tersebut ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab dan biasanya tidak dilengkapi dengan harokat.

d. Santri, sebagai peserta didik.

Secara umum, santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan dan menetap di pondok pesantren hingga pendidikannya selesai. Santri juga merupakan salah satu elemen yang harus ada dalam pesantren.
Pendapat di atas senada dengan Poerwodarminto dalam bukunya Imron Arifin, dengan menyatakan bahwa santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami ilmu agama di pesantren. Geertz juga menambahkan, para santri tersebut tinggal di pondok yang menyerupai asrama dan disana mereka memasak dan mencuci pakaiannya sendiri. Kemudian Saridjo menyatakan, bahwa mereka (santri) belajar tanpa terikat waktu, sebab mereka mengutamakan beribadah, termasuk belajar pun dianggap sebagai ibadah.37
Dhofier membagi santri menjadi dua kelompok sesuai dengan tradisi pesantren yang diamatinya yaitu:

1) Santri mukim

Yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab untuk mengurusi kepentingan pesantren. Mereka juga memikul tanggungjawab mengajar santri tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Disamping itu, pada pesantren yang besar juga terdapat pula putera-puteri Kyai lain yang belajar disana. Mereka biasanya akan menerima perhatian khusus.38
Jadi, santri mukim ialah murid-murid (santri) yang tinggal menetap di pondok pesantren bersama Kyai. Selain itu, santri juga diberi tanggung jawab untuk mengurusi santri lain yang baru dan mengurusi pondok pesantren dengan membentuk struktur organisasi, seperti adanya ketua, bendahara, dan lain sebagainya.

2) Santri kalong

Santri kalong merupakan sebutan bagi para santri yang ikut belajar dan mengaji, tetapi tidak tinggal di pesantren. Hal tersebut terjadi karena, biasanya jarak antara rumah dan pondok pesantren tidak jauh. Sehingga, mereka bisa pulang pergi ke rumahnya masing-masing.
Pendapat tersebut senada dengan Dhofier yang menyatakan santri kalong adalah para murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajaran di pesantren, mereka pulang- pergi (nglaju) dari rumahnya sendiri.39

Untuk santri yang berasal dari luar yang tidak terdaftar secara resmi di pesantren dan tidak mengikuti kegiatan rutinan pesantren, sebagaimana santri mukim dan santri kalong. Akan tetapi mereka, memiliki hubungan batin yang kuat dan dekat dengan Kyai. Sewaktu-waktu mereka bisa mengikuti pengajian-pengajian agama yang diberikan oleh Kyai dan memberikan sumbangan partisipatif yang tinggi apabila pesantren membutuhkan sesuatu.40

e. Kyai, sebagai pemimpin dan pengajar di pesantren.

Kyai merupakan sebutan yang sudah cukup akrab didalam masyarakat. Kyai merupakan tokoh Islam sekaligus menjadi sentral atau pemimpin pondok pesantren. Kyai juga menjadi elemen terpenting dalam kehidupan pondok pesantren karena menjadi penyangga utama dalam sistem pendidikan di pesantren dan cerminan bagi para santri.

Menurut Achmad Patoni, kata Kyai menunjuk pada:

Figur tertentu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama Islam. Karena kemampuannya yang tidak dapat diragukan lagi, dalam struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Figur Kyai memperoleh pengakuan akan posisi pentingnya di masyarakat.41

Sedangkan menurut Ziemek, kata-kata Kyai bukan berasal dari Bahasa Arab melainkan dari Bahasa Jawa. Moebirman menambahkan kata-kata Kyai memiliki makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah mengabdi hidupnya untuk Allah serta memperluas dan memperdalam ajaran-ajaran dan Pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan. Pendapat tersebut dikemukakan oleh beberapa tokoh diantaranya Ziemek, Poerwodarminto, Geertz, Koentjaraningrat, dan Hirokoshi dalam bukunya Imron Arifin.42

Pengertian Kyai menurut Zamakhsari Dhofier adalah dalam bukunya Achmad Patoni,

Kyai merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada santrinya.43

Gelar Kyai dalam perkembangan sosial menurut Hiroko Hirokoshi sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Patoni, gelar Kyai ternyata tidak hanya dilekatkan kepada pemimpin pesantren, tetapi juga sering dianugerahkan kepada figur ahli agama, ataupun ilmuwan Islam yang tidak memimpin atau memiliki pesantren. Dan figur ini pun berbeda-beda level atau tingkatan karismanya.44

Pemahaman semacam di atas menurut Patoni:

Menunjukkan bahwa Kyai tidak hanya merujuk kepada seseorang ahli agama yang menjadi pemipin pesantren dan mengajarkan kitab kuning. Lebih dari itu, Kyai juga berperan besar dalam melakukan transformasi sosial terhadap dunia pesantren dan juga masyarakat sekitarnya.45

Dengan demikian predikat Kyai menurut Wickert dalam Ziemek, berhubungan dengan suatu gelar kerohanian yang dikeramatkan, yang menekankan kemuliaan dan pengakuan, yang diberikan secara sukarela kepada ulama Islam pimpinan masyarakat setempat. Hal ini berarti sebagai suatu tanda kehormatan bagi suatu kedudukan sosial dan bukan gelar akademis yang diperoleh melalui pendidikan formal. Selain itu, Kyai tidak hanya dianggap sebagai pimpinan pesantren tetapi juga memiliki power ditengah-tengah masyarakat.46

Sedangkan misi utama dari Kyai menurut Prasodjo dan Majdid dalam Imron Arifin adalah sebagai pengajar dan penganjur dakwah Islam dengan baik. Ia juga mengambil alih peran lanjut dari orangtua, sebagai guru sekaligus pemimpin rohaniah keagamaan serta bertanggungjawab untuk perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmaniah anak didiknya.47

5. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren

a. Sistem Pendidikan di Pesantren

Sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki fungsi utama yaitu menyiapkan santri dalam mendalami dan menguasai ilmu agama Islam yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia.
Pesantren juga memiliki akar kuat (indigenous) pada masyarakat muslim Indonesia, dalam perjalanannya mampu menjaga dan mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system) serta memiliki model pendidikan multi aspek. Santri di pesantren tidak hanya diajarkan ilmu agama, akan tetapi juga mendapatkan tempaan kepemimpinan yang alami, kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap positif lainnya.

Hal di atas dapat dijadikan sebagai modal yang diharapkan dapat melahirkan masyarakat yang berkualitas dan mandiri sebagai bentuk partisipasi atau kontribusi pesantren dalam menyukseskan tujuan pembangunan nasional sekaligus berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menurut Amin dalam Imron Arifin, pada dasarnya pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, yang mana pengetahuan- pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam diharapkan dapat diperoleh di pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki prinsip dan ciri khas tersendiri, meskipun ia banyak terlibat dalam berbagai masalah kemasyarakatan seperti perekonomian, kesehatan, lingkungan, dan pembangunan.48

Artinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diharapkan untuk dapat menciptakan kualitas hidup pondok pesantren beserta santri-santri yang ada didalamnya dengan pengetahuan agama. apa pun usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pesantren di masa kini dan masa yang akan datang, tetap berpegang teguh pada prinsip tersebut. Selain itu, pondok pesantren juga turut andil dalam kegiatan yang ada di lingkungan masyarakat.

Adapun tujuan pendidikan di pesantren menurut Zarnudji yang dikutip oleh Imron Arifin, tertuang dalam kitab Ta’lim Muta’alim dimana tujuan seseorang menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu adalah semata-mata karena kewajiban agama Islam yang harus dilakukan secara ikhlas.49

Dalam hal tujuan, Imron Arifin menjelaskan:

Tujuan menuntut ilmu yang semata-mata dilakukan secara ikhlas, akan menjadi faktor motivasi bagi para santri untuk belajar melatih diri menjadi seseorang yang ikhlas didalam segala amal perbuatannya. Karena seseorang yang belajar di pesantren didasarkan pada azas keikhlasan, maka apabila ia telah lulus dari pesantren tidak boleh memiliki pamrih apapun.50

Rahardjo pun menambahkan dengan mengatakan bahwa tujuan pendidikan di pesantren adalah membentuk manusia yang bertaqwa, mampu hidup dengan kekuatan sendiri, tidak merupakan keharusan untuk menjadi pegawai negeri.51 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan di pesantren adalah mendidik manusia yang mandiri dan berkualitas.

Imron Arifin menjelaskan lagi mengenai tujuan pendidikan pesantren:

Secara sistematis tujuan pendidikan di pesantren jelas menghendaki produk lulusan yang mandiri dan berakhlak baik serta bertaqwa, dengan memilahkan secara tegas antara aspek pendidikan dan pengajaran yang keduanya saling mengisi satu sama lain. Singkatnya, dimensi pendidikan dalam arti membina budi pekerti anak didik memperoleh porsi yang seimbang. Disamping pengajaran yang membina dan mengembangkan intelektual anak didik.52

Tidak hanya menjelaskan tentang tujuan, Imron Arifin juga memberikan contoh materi pembelajaran untuk dimensi pendidikan dan pengajaran sebagai berikut:

Untuk dimensi pendidikan, seperti diajarkannya kitab-kitab yang bersangkutan dengan pola pembinaan akhlak dan budi pekerti yang baik dan lazim dijadikan pembelajaran di pesantren. Kitab- kitab tersebut diantaranya Ta’lim Muta’alim, Makarimul Akhlaq, Akhlaq wal-Wajibat, dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk dimensi pengajaran, misalnya diajarkan kitab- kitab yang bersangkutan dengan pola pembinaan intelektual. Kitab-kitab yang dipakai seperti kitab Abi Najah, Asybah Wan Nadloir, Bughiyatul Murtasyidin, dan lain sebagainya.53

Menurut Dhofier dalam bukunya Imron Arifin, dengan adanya harmonisasi antara dimensi pendidikan dan dimensi pengajaran, maka tujuan pendidikan di pesantren menjadi jelas. Tujuan di pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan- penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, membentuk sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.54

Tujuan pesantren selain yang disebutkan di atas adalah melatih santri untuk belajar mandiri dan tidak menggantungkan sesuatunya pada orang lain kecuali pada Allah SWT. Oleh karena itu, titik penekanannya adalah murid-murid diajarkan tentang pentingnya keikhlasan di atas segalanya. Kitab Ta’lim Muta’allim, menjelaskan hal tersebut dengan tegas:

Suatu perbuatan yang tampaknya hanya berkaitan dengan urusan duniawi tetapi karena ada niat yang baik didalam hati, maka perbuatan tersebut diterima oleh Allah sebagai amal akhirat. Sebaliknya jika ada perbuatan yang berhubungan dengan urusan akhirat, tetapi ada niat buruk, maka Allah tidak memberinya pahala sedikitpun.55

Intinya, bahwa segala sesuatunya tergantung pada niat seseorang. Apabila memiliki niat baik, maka akan mendatangkan manfaat, begitu juga sebaliknya.

b. Sistem Pengajaran di Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, dalam mengelola santrinya tentu memiliki suatu sistem pengajaran yang diterapkan dan menjadi ciri khas tersendiri. Banyak sekali metode pengajaran yang ada dan tidak semua metode diterapkan. Apalagi yang menjadi sentral pembelajaran di pondok pesantren adalah madrasah diniyah.

Pendapat di atas didukung oleh pendapat Deliar Noer yang dikutip oleh Achmad Patoni yang menyatakan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, pendidikan Islam di Indonesia juga terkenal dengan pendidikan madrasah diniyah.

Madrasah diniyah merupakan jenis pendidikan keagamaan yang memberikan pendidikan khusus ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab. Istilah madrasah diniyah pertama kali dikenalkan oleh Zainuddin Labai El Yunusi.56

Achmad Patoni menambahkan penjelasan menganai madrasah diniyah dengan menyatakan:

Madrasah diniyah dapat diselenggarakan melalui jalur sekolah mapun jalur luar sekolah. Madrasah diniyah diselenggarakan melalui jalur sekolah terdiri dari tiga jenjang, yaitu: Diniyah Ula, Diniyah ustha, dan Diniyah Ulya. Sedangkan diniyah yang diselenggarakan melalui jalu luar sekolah tidak harus berjenjang. Diniyah jalur luar sekolah, pada umumnya mendidik siswa yang sudah mengikuti pendidikan pada jalur sekolah diniyah yang bersifat suplemen terhadap terhadap pendidikan umum. Yang mana pendidikan ini memberikan pengajaran agama dan Bahasa Arab kepada siswa sekolah umum, guna menambah pendidikan agamanya.57

Artinya pesantren memiliki tujuan mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan serta berakhlak mulia. Untuk mencapai tujuan tersebut, sering disandarkan dengan pembelajaran kitab-kitab wajib melalui madrasah diniyah.

Dalam proses pembelajaran di pondok pesantren, Imron Arifin menyatakan “ada beberapa metode pengajaran yang digunakan untuk mendalami kitab-kitab standar, yaitu metode wetonan, metode sorogan/bandongan, metode muhawarah, metode mudzakarah, dan metode majlis ta’lim”.58

Berikut adalah uraian dari metode-metode di atas adalah sebagai berikut:

1) Metode Wetonan

Syis dalam Imron Arifin menjelaskan bahwa pelaksanaan metode ini adalah sebagai berikut: Kyai membaca kitab dalam waktu tertentu dan santri membawa kitab yang sama, kemudian santri mendengarkan dan menyimak tentang bacaan Kyai tersebut. Metode pengajaran yang demikian adalah metode bebas, sebab absensi santri tidak ada. Santri boleh datang, boleh tidak, dan tidak ada pula sistem kenaikan kelas. Santri yang cepat menamatkan kitab boleh menyambung ke kitab yang lebih tinggi atau mempelajari kitab-kitab yang lain. Guna untuk mendidik anak supaya memiliki kreatifitas dan dinamis.59

Sejalan dengan ini, Geertz menambahkan dengan metode pengajaran ini lama belajar santri tidak bergantung pada lamanya tahun belajar, tetapi berpatokan pada waktu kapan santri tersebut menamatkan kitab-kitab pelajaran yang diterapkan. Apabila ada kitab yang selesai, maka seorang santri telah dianggap sudah menamatkan kitab tersebut. Dibeberapa pesantren yang masih ortodoks, apabila beberapa santri bersama-sama menamatkan satu kitab maka diselenggarakannya kataman dimana dipertunjukkan pencak, gambus, dan rebana sebagai hiburan.60

Dalam metode ini juga Prasodjo yang dikutip Imron Arifin menyatakan bahwa metode ini dilakukan dengan cara Kyai duduk dilingkari santri-santrinya. Kelompok santri itu kemudian mengikuti Kyai yang membaca, menjelaskan kitab. Kelompok santri ini disebut Halaqah yang berarti lingkaran belajar santri.61

2) Metode Sorogan

Menurut Dhofier, metode sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab metode tersebut menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin dari santri.62

Pernyataan di atas diperkuat lagi oleh pendapat dari Imron Arifin dengan menyatakan:

Metode ini santri yang pandai mengajukan sebuah kitab kepada Kyai untuk dibaca dihadapan Kyai tersebut. Jika terdapat kesalahan dalam memahami dan membaca kitab tersebut, maka kesalahan tersebut langsung dibenarkan oleh Kyai. Metode ini dilakukan untuk santri yang permulaan belajar atau sebaliknya dilakukan oleh santri-santri khusus yang dianggap pandai dan diharapkan dikemudian hari menjadi seorang ‘alim.63

Jadi, metode sorogan merupakan metode yang mana santrinya berhadapan langsung dengan guru/Kyai dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Sehingga apabila ada kesalahan, Kyai langsung membenarkannya.

3) Metode Muhawarah

Metode Muhawaroh merupakan suatu metode yang dapat melatih santri dalam bercakap-cakap dengan menggunakan Bahasa Arab. Tujuan dari metode ini adalah untuk melatih keterampilan santri dalam bidang Bahasa Arab. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat dari Imron Arifin yang menyatakan:

Metode Muhawaroh merupakan suatu kegiatan berlatih beracakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan kepada santri selama di pondok. Dibeberapa pesantren, latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, tetapi hanya satu atau dua kali dalam seminggu dengan tujuan untuk melatih keteranpilan anak untuk berpidato.64

4) Metode Mudzakarah

Metode mudzakarah merupakan metode yang mempertemukan sekelompok orang untuk membahas suatu permasalahan diniyah dan masalah agamam. Dalam hal ini, Imron Arifin membagi dua tingkat kegiatan:

Pertama, mudzakarah yang diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri mesti ditunjuk untuk menjadi juru bicara dalam menyampaikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan.

Kedua, mudazakarah yang dipimpin oleh Kyai dimana hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.65

Jadi, metode mudzakarah ini bertujuan untuk menguji santri terhadap keterampilannya baik dalam bahasa Arab maupun keterampilannya mengutip dari sumber-sumber argumentasi yang terdapat dalam kitab-kitab klasik Islam.

5) Metode Majlis Ta’lim

Metode majlis ta’lim merupakan suatu media yang digunakan untuk menyampaikan syiar agama Islam (dakwah) kepada semua lapisan masyarakat.

Sedangkan pengertian metode majlis ta’lim menurut Imron Arifin adalah:

Maj’lis ta’lim merupakan suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jama’ah terdiri dari berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan dan tidak dibatasi tingkatkatan usia maupun perbedaan kelamin. Kegiatan ini hanya dilakukan pada waktu tertentu saja. Materi pelajaran yang disampaikan bersifat umum dan berisi nasehat-nasehat keagamaan yang bersifat
‘amar ma’ruf nahi munkar.66

Jadi metode ini lebih merupakan media yang digunakan untuk berdakwah yang ditujukan kepada orang banyak, tidak hanya kepada santri saja.

6. Tipologi Pondok Pesantren

Seiring laju perkembangan masyarakat, pendidikan pondok pesantren mengalami perubahan baik dari segi tempat, atau pun subtansinya. Sehingga muncul berbagai macam/jenis pondok pesantren dan memiliki ciri khas tersendiri dari lembaganya.

Seperti yang dijabarkan oleh Zamkhsari Dhofier dalam bukunya Achmad Patoni, bahwa pondok pesantren sebenarnya memiliki beragam tipologi. Berdasarkan perspektif keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi, pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu salafi dan khalafi. Salafi tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Sedangkan khalafi telah memasukkan pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pondok pesantren.67

Dari sisi sistem pendidikan yang dikembangkan Suparlan Suryopranoto dalam bukunya Achmad Patoni menyatakan,

terdapat tiga tipe pondok pesantren. Pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama Kyai, kurikulumnya tergantung Kyai, dan pengajarannya individual. Kedua, memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran kitab bersifat aplikasi, Kyai memberikan pelajaran secara umum dalam rentang waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mempelajari pengetahuan umum dan agama. Ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi, sementara Kyai sebagai pengawas dan pembina mental.68

Sedangkan Manfred Ziemek membagi lima tipologi pondok pesantren:

Pertama hanya terdiri dari masjid dan rumah Kyai; kedua, terdiri dari masjid, rumah Kyai, dan pondok (asrama); ketiga, memiliki masjid, rumah Kyai, pondok, dan pendidikan formal; keempat, memiliki masjid, rumah Kyai, pondok dan pendidikan formal, dan pendidikan keterampilan; kelima, memiliki masjid, rumah Kyai, pondok, madrasah, dan bangunan-bangunan lainnya.69

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren dibagi menjadi dua tipe yaitu pondok pesantren salafi dan khalafi. Masing-masing pesantren memiliki beberapa tipologi, diantaranya terdapat Kyai sebagai guru/pemimpin pondok, santri, asrama, pendidikan formal, madrasah, masjid, dan bangunan-bangunan lainnya.

7. Peran Pondok Pesantren

Peran pondok pesantren menurut Rancangan Undang-Undang Pesantren memiliki tiga peran utama, diantaranya “sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat”.70

a) Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan

Menurut Mastuhu dalam bukunya menyatakan, pesantren sebagai lembaga pendidikan ikut bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan kehidupan bangsa secara integral. Sedangkan secara khusus pesantren bertanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan dua hal di atas, pesantren memiliki model tersendiri yang dirasa dapat mendukung penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia sejati yang memiliki kualitas moral dan intelektual secara seimbang.71

b) Pondok pesantren sebagai lembaga dakwah

Peran pondok pesantren sebagai lembaga dakwah dalam bukunya Mastuhu menyatakan “fungsi pesantren sebagai penyiaran agama terlihat dari elemen pondok pesantren seperti yang telah penulis paparkan di atas”.72

Dalam hal ini, masyarakat sekaligus menjadi jamaah untuk menimba ilmu-ilmu agama dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan di masjid pesantren, ini membuktikan bahwa keadaan pesantren secara tidak langsung membawa dampak positif terhadap masyarakat. Sebab kegiatan yang diselenggarakannya, dapat mengenalkan secara lebih dekat ajaran-ajaran agama Islam untuk selanjutnya mereka jadikan pedoman dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

c) Pondok pesantren sebagai pemberdayaan masyarakat

Pada umumnya pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sehingga pesantren dapat berperan sebagai penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Dawam dalam jurnal menyatakan di pondok pesantren, santri tidak hanya diajarkan ilmu agama saja tetapi juga diberi kesempatan belajar dan dilatih untuk mengembangkan sumber daya yang mereka miliki. Misalnya, diberikan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan kemampuan santri agar menamatkan pendidikannya di pesantren dan ketika terjun dimasyarakat santri tidak merasa kebingungan.73

B. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Manusia merupakan makhluk beragama yang memiliki kewajiban untuk mematuhi dan menjalankan perintah agama. Dalam pelaksanaannya pun, manusia harus dibekali dengan ilmu pengetahuan. Karena dengan adanya ilmu pengetahuan terhadap agamanya, manusia dapat mewujudkan dalam pengamalan nilai-nilai agama dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Kaitannya dengan religiusitas, Agus M. Hardjana menambahkan bahwasanya:

Penangkapan atau pemahaman atas kehadiran dan campur tangan Allah dalam hidup manusia itu dipengaruhi oleh orang yang mengalami peristiwa dan pengetahuan tentang Allah. Orang yang tidak perduli dan tidak memiliki pengetahuan akan Allah, mungkin mengalami peristiwa-peristiwa yang sama dengan manusia lainnya, namun ia tidak dapat melihat kehadiran dan campur tangan Allah melalui peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan tersendiri agar dapat menangkap atau memahami kehadiran dan campur tangan Allah dalam kehidupan manusia.74

Artinya, pengalaman dan pengetahuan tentang Allah itu berpengaruh pada pemahaman dan keyakinan manusia terhadap adanya Allah. Manusia tetap mengalami peristiwa-peristiwa yang sama dengan yang lainnya, hanya saja terkadang manusia tidak melibatkan Allah dalam kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan tersendiri untuk merasakan dan memahami adanya Allah.

Dengan adanya pengetahuan dan pengalaman itu akan menciptakan religiusitas, kesadaran, serta membentuk ikatan batin manusia dengan Allah. Dari pengalaman tersebut, nantinya manusia menjadi tahu bahwa segala sesuatunya berasal dari Allah. Jika sudah melibatkan Allah dalam kehidupannya, maka Allah akan mendatangkan kebaikan untuk manusia.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Agus M. Hardjana, yang menyatakan:

Dengan adanya religiusitas, manusia akan menyadari akan hubungan dirinya dengan Allah. Dikatakan manusia memiliki kesadaran, karena hubungan antara manusia dan Allah itu sebenarnya sudah ada. Manusia itu ada dan hidup di dunia karena Allah telah memberikannya kehidupan. Namun, terkadang iman manusia mengalami pasang surut atau pun hatinya belum berkembang karena adanya hambatan oleh berbagai hal, yang menjadikan manusia tidak mampu melihat hubungan dan ikatan dengan Allah. Akibatnya tidak adanya kepekaan, perasaan, dan kesadaran akan kenyataan yang ada. Dari religiusitas itulah berkembang berbagai macam agama di dunia dan religiusitas merupakan semangat dan roh agama.75

Dari gambaran di atas, dapat dijelaskan bahwa religiusitas merupakan suatu ekspresi/kesalehan seseorang terhadap agamanya. Sedangkan pengertian religiusitas menurut Jalaludin Rahmat yang dikutip oleh Siti Nurjanah adalah suatu keadaan yan ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya kepada agama.76

Zakiyah Darajat berpendapat religiusitas dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang kompleks dari kepercayaan, keyakinan, sikap-sikap, beserta upacara-upacara yang menghubungkan individu dari suatu keberadaan atau kepada sesuatu yang bersifat keagamaan.77

Sedangkan religiusitas menurut Pruyser dalam skripsinya Nurjanah lebih bersifat personal (pribadi) dan mengatasnamakan agama. Didalam agama mencakup ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Tuhan., sedangkan tingkat religiusitas adalah perilaku manusia yang menunjukkan kesesuaian dengan ajaran agamanya.78

Robert Nuttin dalam Djalaludin menjelaskan, dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang berasal atau bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan yang lainnya, seperti dorongan untuk makan, minum, bekerja, dan lain sebagainya. Dengan adanya dorongan tersebut, maka dorongan untuk beragama pun menuntut untuk dipenuhi. Sehingga jika terpenuhi, manusia tersebut akan mendapat kepuasan dan ketenangan atas apa yang dilakukannya. Selain itu, dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang timbul dari gabungan berbagai faktor penyebab yang bersumber dari rasa keagamaan.79

Zakiyah Darajat juga menambahkan dengan menyatakan:

Dorongan Allah kepada manusia agar beriman kepada-Nya dan mengerjakan amal saleh (perbuatan terpuji), dengan janji akan mendapatkan surga di akhirat nanti, dikeluarkan dari kegelapan menuju tempat yang terang benderang, memperoleh bimbingan atau petunjuk Allah dalam menjalani kehidupan, mendapat ampunan, pahala dan rezeki dari Allah. Orang akan merasa lega bila dibimbing dan diberi hidayah oleh Allah. Sebaliknya, kehidupan yang jauh dari petunujuk dan bimbingan Allah, menjadikan manusia gelisah terbentur dan tersendat-sendat dalam menjalani kehidupannya.80

Kesimpulannya bahwa religiusitas dapat diartikan sebagai suatu bentuk ketaatan dan kesalehan seseorang terhadap agamanya, sehingga muncul perasaan yang mendorong untuk berperilaku dan bertindak sesuai dengan ajaran agama serta berusaha menciptakan iklim kehidupan keagamaan. Sedangkan untuk melihat religiusitas seseorang, dapat melihat dari seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa banyak pelaksanaan ibadah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut seseorang. Sehingga religiusitas bisa juga diartikan sebagai penghayatan atau kualitas seseorang terhadap agama yang dianutnya.

2. Dasar Religiusitas

Artinya: “Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab- kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.81

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya kebajikan atau ketaatan yang mengantarkan pada kedekatan kepada Allah SWT bukan hanya sekedar menghadapkan diri ke arah timur dan barat. Karena itu bukanlah perbuatan yang membutuhkan suatu perjuangan. Ada sesuatu/perbuatan yang membutuhkan perjuangan seperti bagaimana memperoleh ketakwaan dan ketaatan serta iman yang sempurna, dan disitulah ditemukan kebajikan yang sejati.

Sedangkan implikasi QS. Al-Baqarah ayat 177 dalam jurnal Pendidikan Universitas Garut yang ditulis oleh Shinta, menafsirkan:

Kebaikan itu bukan hanya sekedar menghadapkan wajah ke arah timur dan barat, akan tetapi kebajikan itu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi. Ketika seseorang memiliki nilai kebaikan, ia akan berusaha melaksanakan amal shaleh dengan melakukan amal baik kepada orang lain. Seperti mengeluarkan harta kepada kerabatnya, anak yatim, orang miskin, musafir, dan memerdekakan hamba sahaya. Mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat, juga menepati janji ketika berjanji kepada Allah dan manusia. Orang yang melaksanakan kebaikan seperti yang disebutkan di atas termasuk orang yang bertakwa.82

Intinya, jika ingin melakukan kebaikan harus didasari oleh keimanan kepada Allah SWT. Tanpa didasari keimanan dan niat yang tulus, perbuatan yang dilakukannya pun tidak memiliki nilai ibadah sama sekali.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Religiusitas

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan religiusitas, menurut Thouless yang dikutip oleh Nur Azizah meliputi:83

a. Faktor sosial, yang meliputi semua pengaruh sosial seperti pendidikan dan pengajaran dari orangtua, tradisi-tradisi, dan tekanan-tekanan sosial.

b. Faktor alami, meliputi moral yang berupa pengalaman-pengalaman baik yang bersifat alami, seperti pengalaman konflik moral maupun pengalaman emosional.

c. Faktor kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.

d. Faktor intelektual yang menyangkut proses pemikiran verbal dalam bentukan keyakinan-keyakinan agama.

4. Aspek-aspek Religiusitas

Menurut Glock dan Stark, religiusitas seseorang meliputi berbagai macam sisi atau dimensi, diantaranya:84

a) Dimensi keyakinan (Ideologis)

Dimensi ini berisi tentang pengharapan-pengharapan seseorang terhadap suatu keyakinan yang dianggapnya pasti atau tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik didalam ajaran agamanya. Misalnya mengakui adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka, dan lain sebagainya. Seseorang yang memiliki jiwa religius akan selalu berusaha berpegang teguh pada keyakinan yang dia yakini, sehingga tidak ada yang dapat mengganggu gugat keyakinannya tersebut. Karena setiap agama, memiliki seperangkat kepercayaan yang doktriner berbeda dengan agama lain.85 Hal ini tercermin dalam QS. Al-Maryam sebagai berikut:Artinya: Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?86

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT lah yang menguasai langit dan bumi beserta isinya. Dan manusia diperintahkan untuk memiliki keyakinan dan berteguh hati dalam beribadah kepada Allah SWT, karena tidak ada yang patut disembah selain Allah SWT.

Dan pada dasarnya, setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Dengan begitu, agama yang dianut seseorang memiliki makna terpenting yaitu adanya kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat droktiner yang harus diaati oleh penganut agama.

b) Dimensi peribadatan atau praktik agama (Ritualistik)

Dimensi ini berisi tentang bagaimana seseorang melakukan praktik keagamaan sesuai dengan ketentuan agama yang dianutnya. Seperti halnya melakukan praktik ibadah sholat, dan membayar zakat bagi yang beragama Islam. Sholat merupakan salah satu wujud ritual agama Islam dan termasuk rukun Islam yang kedua.

Berbeda halnya dengan agama Kristen, yang mewujudkan ritual keagamaannya dengan melakukan kebaktian di gereja, baptis, perkawinan dan semacamnya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk ketaatan seseorang terhadap Tuhannya. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan yang mati tanpa adanya air. Aspek ritual merupakan komitmen yang sudah menjadi ciri khas suatu agama. Semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan ciri khas. Ketaatan di lingkungan penganut Islam diungkapkan melalui ibadah sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain.87

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.88

Ayat di atas menjelaskan bahwa semua makhluk Allah, baik yang ada di langit dan bumi diciptakan agar beribadah, tunduk, patuh, dan menyembah kepada-Nya.

c) Dimensi pengalaman (Eksperensial)

Dimensi ini berisi tentang suatu hal yang pernah dialami dan dirasakan oleh seseorang, yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaannya. Dimensi ini mengukur seberapa dalam kedekatan seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan, pengalaman-pengalaman religiusnya.

Perasaan yang dimaksud disini adalah perasaan adanya rasa takut terhadap Tuhan, perasaan dekat dengan Tuhan, perasaan bahagia dan senang karena diberi kenikmatan oleh Tuhan, perasaan doanya sering dikabulkan, perasaan dirinya selalu diberi pertolongan dan lain sebagainya. Dalam keberislaman seseorang, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, jujur, amanah, dermawan, menegakkan keadilan dan kebenaran, pemaaf, menjaga lingkungan hidup, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.89

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.90

Ayat di atas menjelaskan bahwa hidup di dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat tempat menuai. Jadi segala sesuatu yang dilakukan di dunia, akan memperoleh hasilnya ketika di akhirat.

d) Dimensi pengetahuan agama (Intelektual)

Dimensi ini mengacu pada seberapa jauh pengetahuan seseorang terhadap ajaran agama yang dianutnya, paling tidak orang-orang memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus- ritus, dan tradisi-tradisi. Secara tidak langsung, seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang agamanya, akan senantiasa melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan didalam agamanya. Jika tidak, maka hal tersebut perlu dipertanyakan, karena dikhawatirkan orang tersebut hanya menganggap agama sebagai identitasnya semata.

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”.91

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk membaca berulang-ulang dan membiasakannya agar ilmunya melekat. Dan Allah juga telah memberikan kemampuan untuk menguasai segala sesuatu yang ada di bumi dengan ilmu yang diberikan oleh Allah SWT.

Dalam hal ini, ilmu pengetahuan terutama ilmu agama sangatlah penting untuk diketahui, dikaji, serta diamalkan. Meskipun hanya mengetahui sekilas, tetapi hal tersebut bisa diikhtiarkan lagi untuk terus mencari tahu dan belajar dari orang lain. Sehingga, kata agama tidak hanya menjadi simbol bagi seseorang bahwa dia memiliki agama.

e) Dimensi pengamalan agama (Konsekuensial)

Menurut Ancok dan Suroso mengenai dimensi pengamalan agama adalah:

Dimensi ini berisi tentang sejauh mana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial. Dimensi ini mengarah pada akibat-akibat keyakinan agama, praktik, pengamalan, pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Menunjuk pada tingkatan perilaku muslim yang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, seperti suka menolong, berkata jujur, dan adab bekerjasama.92

Maksudnya adalah dimensi pengamalan ini berisi tentang sejauh mana seseorang menjalankan perintah agamanya. Dimensi ini didukungoleh pengetahuan dan pengalaman seseorang dari hari ke hari. Sehingga seseorang memiliki perilaku baik terhadap dirinya maupun or ang lain. Seperti yang tercantum dalam QS. Al-Mu’minun sebagai berikut:

Artinya: “Hai Rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.93

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah memerintahkan Rasul-rasulNya untuk memakan makanan yang baik dari rizki yang halal dan diperintah untuk mengerjakan amal shaleh. Karena Allah SWT mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-Nya.

Dari pemaparan yang telah dijelaskan berkaitan dengan religiusitas, dapat ditarik kesimpulan bahwa religiusitas memiliki lima dimensi diantaranya dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau praktik agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan pengamalan agama. Dari kelima dimensi tersebut, masing-masing dimensi harus memperhatikan dan mengindahkan pendidikan dimensi lainnya, agar tidak terabaikan.[]

CATATAN DAN REFERENSI

6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), 212-213.

7 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), 40.

8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2015), 854.

9 W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), 735.

10 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 42

11 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 42.

12 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 43.

13 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 46.

14 Bimo Walgito, Psikologi Sosial, Edisi Revisi (Yogyakarta: Andi Offiset, 2003), 7.

15 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 90-91.

16 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 87-88.

17 Ibid., 91.

18 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), 18.

19 Haidar Putra Daulayah, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 26-27.

20 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 2005), 2.

21 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press, 1993), 3.

22 Ibid., 3.

23 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 3.

24 Ibid., 4-5.

25 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 3.

26 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 3.

27 Ibid.

28 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 6.

29 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 6.

30 Ibid.

31 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 7.

32 Ibid., 8.

33 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 8.

34 Ibid.

35 Ibid., 8-9.

36 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 8-9.

37 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 11.

38 Ibid., 12.

39 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 12.

40 Ibid.

41 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 20.

42 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 13.

43 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren., 20-21.

44 Ibid., 23.

45 Ibid., 24.

46 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 14.

47 Ibid., 15.

48 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 35.

49 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 35.

50 Ibid.

51 Ibid.

52 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 35.

53 Ibid.

54 Ibid.

55 Syeikh Az-Zarnuji, Kitab Ta’lim Muta’alim (Kudus: Menara Kudus, 1963), 29-30.

56 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam., 94.

57 Ibid., 94-95.

58 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 37.

59 Ibid., 38.

60 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 38.

61 Ibid.

62 Ibid.

63 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 38.

64 Ibid., 39.

65 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 39.

66 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai., 39-40.

67 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982), 61.

68 Suparlan Suryopranoto, Kapita Selekta Pondok Pesantren Jil. II (Jakarta: Paryu Barkah, tt), 84.

69 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), 93.

70 Nuonline, “Tiga Peran Pesantren dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan”, diakses dari https://www.nu.or.id/post/read/96445/tiga-peran-pesantren-dalam-ruu-pesantren-dan- pendidikan-keagamaan, html, pada tanggal 08 Agustus 2019 pukul 06.00 WIB.

71 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidika Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 59.

72 Ibid., 61.

73 Imam Nurhadi dkk, “Pemberdayaan Masyarakat Pondok Pesantren untuk Meningkatkan Minat Masyarakat”, Al-Idara: Jurnal Kependidikan Islam, No. 1, Juni 2018.

74 Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama & Spiritualitas (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 45.

75 Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama., 46.

76 Siti Nurjanah, “Pengaruh Tingkat Religiusitas Terhadap Perilaku Disiplin Remaja di MAN Sawit Boyolali” (Skripsi S.Pd.I, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014), 7.

77 Siti Nurjanah, “Pengaruh Tingkat Religiusitas., 7.

78 Ibid.

79 Djalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 89.

80 Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1995), 69.

81 QS. Al Baqarah (2): 177.

82 Shinta, “Implikasi Paedagogis Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 177 tentang Pendidikan Tauhid”, Pendidikan Universitas Garut, 01 (2009), 16.

83 Nur Azizah, “Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama”, No. 2, hal 4.

84 Glock & Stark dalam Djamaludin Ancok & Mohammad Asnawi, Psikologi Terapan: Mengupas Dinamika Kehidupan Umat Manusia (Yogyakarta: Darussalam, 2004), 59.

85 Glock & Stark dalam Djamaludin Ancok & Mohammad Asnawi, Psikologi Terapan., 59.

86 QS. Al Maryam (19): 65.

87 Glock & Stark dalam Djamaludin Ancok & Mohammad Asnawi, Psikologi Terapan.,59.

88 QS. Adz Dzariyat (51): 56.

89 Glock & Stark dalam Djamaludin Ancok & Mohammad Asnawi, Psikologi Terapan.,59.

90 QS. Al Qashash (28): 77.

91 QS. Al Alaq (96): 1-5.

92 Ancok dan Suroso, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 80.

93 QS. Al Mu’minun (23): 51.

Peran Pondok Pesantren

Satu tanggapan pada “Peran Pondok Pesantren

  1. Ping-balik: Akidah Pesantren

Komentar ditutup.

Kembali ke Atas